Kemarau Melanda Padi Terancam Gagal Panen, Kemntan Ditangtang Turun Langsung Ke Lapangan

Kemarau Melanda Padi Terancam Gagal Panen, Kemntan Ditangtang Turun Langsung Ke Lapangan
Harian Press. Kementerian Pertanian (Kementan) ditantang untuk turun langsung ke lapangan menyaksikan kondisi paceklik di berbagai daerah saat musim kemarau. Sebelumnya Kementan mengklaim, data yang mengesankan bahwa hasil panen tidak terganggu oleh musim kemarau.

Mengomentari optimisme Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman bahwa musim kemarau tidak berdampak signifikan terhadap produksi beras nasional. Sekretaris Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Serikat Petani Indonesia (SPI) Agus Ruli menerangkan, musim kemarau yang panjang jelas berdampak langsung terhadap pertanian dan kehidupan para petani secara kompleks.

Selain produksi hasil tanam petani yang dipastikan semakin menurun, musim kemarau juga menghadirkan persoalan-persoalan lain kepada petani seperti tumbuhnya hama di lahan pertanian mereka. “Hama di ladang-ladang pertanian juga bertumbuh banyak. Ini yang kerap dikeluhkan oleh petani-petani,” papar Agus.

Lebih jauh Agus menuturkan kemarau panjang juga menyebabkan petani gagal panen sehingga merugi dari sisi modal. Secara tidak langsung hal ini membuat petani memilki hutang panen sehingga ketika datang musim hujan mereka harus menanamnya ulang.

Tidak hanya itu, luasan kekeringan ladang-ladang pertanian di berbagai daerah diyakini Agus lebih besar dibandingkan dari tahun sebelumnya, sebagaimana data yang diungkap oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dimana kekeringan telah melanda 11 provinsi yang terdapat di 111 kabupaten/kota, 888 kecamatan, dan 4.053 desa yang notabene di antaranya adalah daerah-daerah sentra beras dan jagung, seperti Jatim, Jateng, Jabar, Sulsel, NTB, Banten, Lampung, dan beberapa provinsi lainnya.

Kondisi kekeringan di atas selaras dengan hasil studi Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI), sebanyak 39,6% dari 14 kabupaten yang merupakan sentra padi mengalami penurunan produksi di kemarau panjang ini. Penurunannya bahkan tidak tanggung-tanggung, mencapai 39,3%.Oleh karena itu ia mendorong Kementan lebih serius menangani hal ini.

Kementan disarankannya berkoordinasi langsung dengan para petani dan menampung masalah-masalah yang dihadapi petani. Yang menjadi persoalan adalah Kementan sejauh ini dinilainya kurang optimal dalam membenahi persoalan yang dihadapi petani, khususnya saat musim kemarau melanda.
Terpisah, anggota Bina Desa, Bidang Pendidikan dan Pengorganisasian, John Pluto bersuara senada.

Ia mengamini bahwa luas lahan pertanian di beberapa daerah yang terdampak kemarau dan pusoakan bertambah dibandingkan tahun sebelumnya. Mengacu dari informasi yang diperoleh dari petani di beberapa daerah, dengan kondisi kekeringan yang berkepanjangan membuat petani tidak berani menanam karena dipastikan merugi.

Bindes mendorong Kementan mengurangi tingkat resiko kepada petani dari musim kemarau. Apalagi hingga kini 60% sampai dengan 70% wilayah di Indonesia masih mengalami musim kemarau. Selama kurun waktu tiga tahun 2015-2018 bulan September merupakan puncak musim kemarau. Di mana tahun 2015 merupakan kemarau yang sangat kering, dan di tahun 2018 lebih kering dibandingkan dengan tahun 2017-2018.

Sementara Presiden Peternak Layer (ayam petelur) Nasional, Ki Musbar Mesdi pun mengungkap kegundahannya. Kemarau panjang  menurutnya memberikan efek domino kepada para peternak karena menurunnya jumlah panen berdampak pada tingginya harga jagung di pasaran. “Terjadi penurunan suplai sekitar 20 persen dari produksi nasional,” ujar Musbar.

Ia mempertanyakan tingginya target produksi jagung dari Kementerian Pertanian. Karena pada kenyataannya, musim kemarau saat ini telah menyebabkan kekeringan di beberapa daerah. Sementara target Kementan hanya didasarkan atas jumlah bibit yang ditebar dan luasan area tanam. “Tapi tidak semua wilayah ada airnya,” tandas Musbar.

Bahkan kekeringan yang terjadi di beberapa wilayah saat ini menurutnya sangat berpotensi menyebabkan terjadinya gagal panen. Oleh sebab itu Musbar menekankan perlunya perbaikan tata kelola termasuk distribusi komoditas pangan secara nasional.

Adapun pemerintah seharusnya menyiapkan mesin-mesin pascapanen, salah satunya mesin pengering, di daerah sentra produksi komoditas pangan. Dengan demikian, dapat di distrubusikan ke seluruh wilayah Indonesia. “Tapi sayangnya sistem distribusi belum baik,” ujar Musbar.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pernyataan Trump Mengakibatkan Rupiah Melemah

Memperbanyak Jumlah Bulog, Jumlah Titik Operasi Pasar Harga Murah Pasca Gempa

Sampai Agustus 2018, Pemerintah Masih Mempunyai Utang Senilai Rp.4.363 T